Agroplus – Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) Sudaryono tengah gencar berupaya mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor kedelai. Dalam kunjungannya ke Balai Perakitan dan Pengujian Tanaman Industri dan Penyegar (BRMP-TRI) di Sukabumi, Jawa Barat, Jumat lalu, beliau mengungkapkan strategi jitu pemerintah untuk mengatasi masalah ini. Kedelai, bahan baku utama tempe dan tahu yang dikonsumsi hampir seluruh masyarakat Indonesia, hingga kini masih mayoritas diimpor karena produksi dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan.
Anggapan bahwa kedelai hanya tumbuh optimal di iklim subtropis, menjadi tantangan tersendiri. Namun, Wamentan Sudaryono menegaskan, pemerintah tak tinggal diam. Kunjungan beliau ke Wageningen University and Research (WUR) di Belanda baru-baru ini, menjadi bukti nyata komitmen pemerintah mencari solusi inovatif. Beliau terinspirasi dari keberhasilan budidaya padi di air payau, dan meyakini hal serupa dapat diterapkan pada kedelai.

"Dengan riset dan teknologi, termasuk pemanfaatan DNA, genom, dan bioteknologi, kita mampu menciptakan varietas kedelai unggul yang hasilnya setara dengan negara subtropis," tegas Wamentan Sudaryono. Harapannya, dengan terobosan ini, Indonesia dapat mengurangi, bahkan menghilangkan, impor kedelai dalam jumlah besar.
Upaya serupa juga diterapkan untuk komoditas bawang putih dan gandum. Tingginya impor kedua komoditas ini, yang merupakan bahan baku makanan pokok seperti roti dan mie, menjadi perhatian serius pemerintah. Wamentan Sudaryono menekankan pentingnya uji coba dan pengembangan teknologi untuk mencapai swasembada pangan, tidak hanya beras, tetapi juga komoditas penting lainnya.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, sepanjang Januari-September 2024, Indonesia mengimpor 2,16 juta ton kedelai senilai US$1,15 miliar (Rp 17,98 triliun). Amerika Serikat menjadi pemasok utama, menyumbang 1,93 juta ton. Pemerintah berkomitmen untuk terus berupaya, melakukan uji coba dan perbaikan berkelanjutan, hingga terwujudnya kemandirian pangan nasional.